Policy brief ini membahas pentingnya membangun resiliensi istri dan ibu narapidana terorisme (selanjutnya disebut napiter). Anggota keluarga napiter, terutama istri, seringkali menerima stigma dan pengucilan dari masyarakat pasca penangkapan anggota jaringan terorisme (Rufaedah & Putra, 2018). Padahal, temuan di lapangan menunjukkan bahwa tidak semua istri narapidana terorisme mengetahui ataupun menyetujui keterlibatan suami dalam aktivitas tersebut (Rufaedah, Sarwono, & Putra, 2017). Akibatnya, istri yang ditinggalkan menghadapi tekanan psikologis dan kesulitan ekonomi. Adanya program pemberdayaan dan pendampingan dapat mempersiapkan mereka untuk menjalani proses reintegrasi dengan masyarakat sekitar.
Link Buletin KPIN: