Jakarta, Gatra.com – Insiden pembakaran bendera bertuliskan lafal tahlil turut menjadi sorotan mantan narapidana kasus terorisme Nasir Abas.
Bekas anggota Jamaah Islamiyah (JI) ini menghimbau agar umat islam saat jangan mudah terprovokasi dengan peristiwa yang bisa memecah belah persatuan umat.
Menurut Nasir Abas, insiden pembakaran bendera tauhid oleh oknum Banser perlu dipahami secara jernih.
Memang menurutnya, adakalanya kertas atau benda yang bertuliskan lafal Al Quran boleh dibakar untuk tujuan tertentu.
Misalnya jika khawatir akan dibuang di tempat sampah. Hanya saja proses membakarnya tidak disertai emosi atau mungkin perasaan senang. Apalagi disaksikan oleh banyak orang.
“Seperti kasus dulu ada kertas yang isinya ayat Quran justru dibuat bungkus (makanan). Ini kan tidak benar, ini persoalan akhlak,” tuturnya pada pengajian mantan narapidana teroris yang diadakan Rumah Daulat Buku (Rudalku) di Pejaten, Jakarta Selatan, Kamis (24/10)
Rumah Daulat Buku merupakan gerakan literasi yang didirikan Soffa Ihsan untuk meningkatkan minat baca para mantan narapidana terorisme (napiter) agar berfikiran terbuka dan menjauhi radikalisme.
Pada pengajian siang itu, Nasir Abas menyampaikan ceramah bertema “Dari Jihadis ke Dakwah Berdasarkan Ilmu”.
Ada 10 nara pidana teroris (napiter) yang hadir, di antaranya yang pernah terlibat kasus Bom Buku, Bom JW Marriot, konflik Ambon, dan Bom Beji-Depok.
Pada pengajian ke empat yang diadakan Rudalku, Nasir Abas menekankan pentingnya menggunakan akhlak dalam menyikapi berbagai hal.
Pasalnya, Nabi Muhammad diutus untuk menyempurnakan akhlak. Karena itu jihad pun harus dengan akhlak, tidak bisa hanya dengan mengandalkan semangat.
Untuk menggapai akhlak terpuji, menurut Nasir Abas, diperlukan ilmu agama yang mendalam.
Ada pun mengenai jihad yang berarti perang, Nasir Abas menjelaskan, tidak bisa ditafsirkan oleh muslim perorangan, malainkan harus ijtihad para ulama.
Itupun harus disesuaikan dengan konteks ruang dan waktu.
“Misalnya dulu ada resolusi jihad oleh kyai haji Hasyim Asy’ari (Pendiri NU). Itu merupakan kebutuhan saat itu demi melawan penjajah. Ada ulama sekaliber kyai Hasyim Asy’ari yang menjadi rujukan,” jelasnya.
Untuk konteks kondisi saat ini yang dalam keadaan damai, menurut Nasir Abas, semangat jihad harus diarahkan untuk mencari ilmu, dan berupaya bermanfaat bagi umat.
“Karena itu nabi sendiri sudah menjelaskan misalnya orang yang tenggelam atau kena bencana alam atau saat mencari nafkah keluarganya merupakan jihad, yang bisa menjadikan seseorang menjadi syahid,” imbuhnya.
Kepada para mantan napiter, Nasir Abas mengingatkan bahwa jangan berfikir jihad selalu memiliki arti perang dan tujuannya untuk mati.
“Seperti Kholid bin Walid yang berkali-kali perang tapi wafatnya di tempat tidur. Hikmahnya bahwa jihad dalam arti perang perlu dihindari kecuali situasi mendesak. Yang penting jjihad dalam artian mashlahat bagi umat. Ini yg perlu diwujudkan,” pungkasnya.