Djuneidi Saripurnawan
KabarIndonesia – Buku berjudul “Panduan Sistem Deteksi dan Penanganan Dini Ekstremisme Kekerasan Tingkat Desa”, diterbitkan oleh Indonesia Civil Society Against Violent Extremism (CSAVE) dan Division for Applied Social Psychology Research (DASPR) dari Ichsan Malik Centre for Peace and Dialog, 24 Februari 2019, vi+84 hlm, luas buku A5.
“Sistem Deteksi dan Penanganan Dini Ekstrimisme Kekerasan Tingkat Desa adalah sistem yang ditujukan bagi warga desa untuk dapat mendeteksi tanda dan gejala awal ekstrimisme kekerasan dan melakukan penanganan sedini mungkin di tingkat desa dengan sistem rujukan di tingkat kecamatan dan kabupaten”(hlm.8). Sistem ini ditujukan sebagai upaya pencegahan penyebaran ideologi ekstrimisme kekerasan sehingga warga masyarakat tidak terjebak pada proses radikalisasi lebih lanjut dengan resiko yang lebih berat.
Dalam sistem deteksi ini, berlaku prinsip-prinsip : prinsip Do-No-Harm (prinsip tidak memunculkan bahaya dan pengrusakan lebih lanjut), prinsip kehati-hatian (prudential), prinsip menghargai keindividuan (individual differences),prinsip perlindungan HAM, prinsip kerahasiaan dan akuntabilitas, prinsip kepekaan sosial, prinsip kesetaraan, prinsip kesetaraan gender, dan prinsip pemenuhan hak anak.
Adanya Tim Desa dalam sistem ini tentunya banyak menimbulkan pertanyaan bagi banyak kalangan di desa atau kelurahan, seperti apa itu? Buku ini mencoba menawarkan sebuah sistem yang digambarkan bisa dijadikan model di tingkat desa. Berangkat dari pilot project di 10 desa, buku ini mencoba berbagi informasi dan capaiannya dalam upaya membangun sistem deteksi dan penanganan dini terhadap ekstrimisme kekerasan di tingkat desa. Gambaran bagaimana sistem ini bekerja dijelaskan dengan memaparkan adanya Tim Desa dan peran-perannya, dan ditampilkan alur tata laksana pengelolaan kasus.
Buku ini memberikan pengetahuan bagi para pembaca tentang apa itu ekstrimisme kekerasan dan radikalisme yang berpotensi pada ekstrimisme kekerasan. Sekilas tentang sejarah ekstrimisme kekerasan di Indonesia dipaparkan-mulai dari Gerakan NII Kartosoewirjo (1949), Komando Jihad (1968-1981), Gerakan Front Pembebasan Muslim Indonesia (1977-1981), Jamaah Islamiyah–JI (1990), Front Pembela Islam–FPI (1998), Majelis Mujahidin Indonesia (2000), Jamaah Ansharut Tauhid–JAT(2008), Mujahidin Indonesia Timur–MIT (2010), Jamaah Ansharusy Syariah-JAS(2014), Jamaah Ansharud Daulah-JAD (2015) yang berafiliasi dengan ISIS, tahun 2016 tercatat 530 orang Indonesia ke Suriah dan Irak untuk bergabung dengan ISIS (BNPT), yang didominasi oleh radikalisasi agama yang mengejawantahkan dalam bentuk gerakan pemberontakan terhadap ideologi negara NKRI dan mengajarkan nilai ekstrimisme kekerasan, seperti orang yang tidak seiman boleh dibunuh, disembelih, dipenggal dan seterusnya. Sayangnya, catatan gerakan ekstrimisme kekerasan yang disajikan hanya dari kelompok radikalis Islam; apakah memang tidak ada catatan sejarah dari kelompok radikalis lainnya yang juga menimbulkan ektrimisme kekerasan?
Buku ini juga memberikan pembelajaran tentang gejala-gejala perubahan sikap dan perilaku manusia dalam hubungan sosial, ideologi, dan tindakan kriminal. Dari sini, derajat intensitas bahaya bisa dikenali dalam tiga bagian/kelompok, yaitu tingkat 1) Waspada, sebagai derajat bahaya rendah dengan adanya tindakan ektrimisme berskala kecil; 2) Siaga, sebagai derajat bahaya menengah dengan adanya penyebarluasan paham dan kegiatan ekstrimisme kekerasan; 3)Awas, sebagai derajat bahaya tinggi dengan adanya aksi ekstrimisme kekerasan.
Berbagai upaya pencegahan dan penanganan kasus ditawarkan dengan basis analisis akademis, karena muatan buku ini nampak kental berangkat dari teori dan refensi akademis. Upaya-upaya pencegahan melalui : peningkatan daya kritis individu, peran penting keluarga, pendidikan dan pergaulan anak, pengasuhan anak (parenting), dan keterlibatan masyarakat desa dalam penerapan sistem deteksi dan penanganan dini. Akhirnya, buku ini mencoba memberikan kejelasan tentang Tim Desa yang diwujudkan dalam deskripsi Struktur Tim Desa lengkap dengan peran dan tugasnya. Dan yang menarik adalah penyajian 7 kasus di Indonesia yang telah dicatat dalam program CSAVE.
Secara keseluruhan, buku ini cukup baik dalam memberikan pemaparan tentang adanya bahaya gerakan radikalisme dan ekstrimisme kekerasan di Indonesia, dan bagaimana upaya-upaya bisa dilakukan di tingkat individu dan di tingkat desa sebagai upaya sistemik yang ditawarkan dengan melibatkan aparat pemerintahan desa dan semua elemen masyarakat. Upaya kerja keras untuk menyusun buku ini oleh para kontributor : Fajar Erikha, Vici Sofianna Putera, Any Rufaedah, dan Idhamsyah Eka Putra perlu mendapatkan apresiasi tersendiri, dan tentunya juga atas dukungan Mira Kusumarini sebagai penanggungjawab program dan pengadaan buku ini.
Catatan minor yang perlu diperhatikan adalah pendekatan ini lebih bersifat top-down ketimbang pendekatan partisipatif yang memanfaatkan secara optimal modal sosial-budaya yang ada dalam masyarakat lokal. Namun demikian, upaya intervensi ini tetap perlu sebagai upaya besar yang menjadi tanggungjawab bersama, sebelum semuanya terlambat dan bahaya ekstrimisme kekerasan memakan korban jiwa anak-anak bangsa kita sendiri. Buku ini perlu dan penting untuk menjadi salah satu bahan bacaan di sekolah-sekolah, madrasah, pesantren, kelompok belajar, dan perpustakaan di daerah-daerah dalam rangka menjaga keutuhan NKRI dan kedamaian hidup berbangsa dan bernegara yang dinamis.(*)
Penulis : Djuneidi Saripurnawan, konsultan teknis CSAVE Indonesia(2019), Alumnus Studi Antropologi-Universitas Gadjah Mada dan Teknik Sipil-UAJY Yogyakarta.