Beranda 

Tragedi Bom Sri Lanka di Hari Paskah: Perspektif Psikologi

Serangan teror di Sri Lanka 21 April 2019 lalu benar-benar menyedot perhatian dunia. Bukan serangan biasa, ledakan di tiga gereja, tiga hotel mewah, dan satu lokasi di sebuah perumahan terjadi sekaligus. Otoritas Sri Lanka menyebut National Thowheeth Jama’ath (NTJ) adalah pelaku serangan. Belum ada yang dapat memastikan apakah serangan berkaitan dengan Islamic State (IS/ISIS) pada saat itu. Jawaban muncul dua hari setelah serangan. Pemilihan gereja dan hotel bertaraf internasional dimaksudkan untuk menyerang koalisi against ISIS–di mana Amerika paling aktif–secara tidak langsung (lihat: Katz, 2019)

ISIS menyatakan bertanggung jawab atas serangan Sri Lanka melalui media resminya, Amaq. ISIS juga merilis video baiat Zahran Hashim, pendiri NTJ dan juga pimpinan amaliyah (operasi), bersama tujuh pelaku lainnya, sebelum melakukan amaliyah. Dalam video itu, Zahran dan rekan tampak sangat mempersiapkan diri. Semua mengenakan jubah berwarna abu-abu dan sorban penutup kepala (kecuali Zahran) yang sama. 

Kondisi Sri Lanka tidak segera mereda. Jumat (26/4), terduga kelompok Zahran Hashim meledakkan diri saat polisi melakukan penggerebekan. 15 orang termasuk enam anak meninggal akibat ledakan tersebut (bbm.com). Kepolisian menangkap lebih dari 70 terduga, termasuk empat perempuan. Sebagian besar memiliki hubungan keluarga atau teman pelaku serangan (cnn.com).

Bagi saya yang menekuni kajian psikologi, ada beberapa hal menarik yang dapat ditinjau dari perspektif psikologi. Serangan Sri Lanka disebut-sebut sebagai aksi balas dendam terhadap New Zealand attack 15 Mei lalu. Dugaan ini perlu dipertanyakan ulang. 

Setelah peristiwa New Zealand, banyak sekali umat Kristiani yang melakukan aksi solidaritas (lihat: bbc.com; aljazeera.com). Perdana Menteri Zew Zealand, Jacinda Ardern, dan perempuan dari berbagai profesi mengenakan hijab sebagai tanda solidaritas terdapat Muslim (www.washingtonpost.com). Senator Queensland, Fraser Anning, menerima mosi kecaman dari senator lainnya dan masyarakat dunia atas komentarnya yang menyalahkan korban (cbsnews.com). 

Solidaritas dari non-Muslim yang sebagian besar adalah Nasrani seharusnya cukup menjadi alasan untuk tidak balas dendam. Brenton Tarrant adalah oknum dari minoritas Kristen yang tidak menyukai Muslim. Ia sama sekali bukan representasi Nasrani. Benarkah Easter Sunday blast adalah balas dendam terhadap serangan New Zealand? Saya berpandangan tidak. New Zealand dapat menjadi faktor pendorong, tetapi prosentasenya kecil. Misi utama ISIS adalah mengalahkan Global Coalition Against ISIS yang berisi 79 anggota (74 negara dan 5 organisasi internasional). 

ISIS telah kehilangan banyak wilayah kekuasaan. Sejak 2015 hingga 2018, wilayah ISIS semakin menyempit. Tahun ini pun ISIS belum bebas dari gempuran. Koalisi global mengambil alih Baghouz, sebuah kota di Provinsi Deir ez-Zor, Syria. ISIS boleh dibilang semakin terjepit. Kondisi itu meningkatkan tensi untuk melakukan serangan balik dengan porsi yang sebanding. Kita tinjau kembali tujuh serangan di Sri Lanka, ISIS menentukan target sangat besar. Hal itu mencerminkan tingginya tensi balas dendam terhadap koalisi.

Pertanyaan selanjutnya adalah, Sri Lanka bukan negara yang tergabung dalam koalisi against ISIS, namun mengapa justru menjadi sasaran teror? Sasaran ISIS bukan lagi wilayah, melainkan kelompok. Abu Bakar al Baghdadi telah memperbolehkan junud (tentara) ISIS untuk melakukan jihad di manapun, terutama bagi mereka yang tidak dapat hijrah ke Syria atau Iraq. 

Bom Surabaya tahun lalu dan bom Sulu, Filipina, adalah contoh jihad yang dilakukan para junud di luar Syria dan Iraq. Sasaran mereka adalah kelompok non-Muslim, terutama penganut agama Kristen yang dianggap sebagai representasi Amerika. Begitu pula yang terjadi di Sri Lanka. Pemilihan gereja dan hotel bertaraf internasional dimaksudkan untuk menyerang koalisi against ISIS –dimana Amerika paling aktif – secara tidak langsung. 

Interpretasi al wala’ wal baro’

Salah satu prinsip utama ISIS adalah al-wala’ wal bara’. Al-wala’ wal bara’ secara harfiah berarti loyal terhadap Muslim dan berlepas diri dari kekafiran dan perbuatan buruk (lihat: Ferdiansyah, 2018). Namun kelompok ISIS memaknainya dengan loyal terhadap amirul mukminin dan membenci orang kafir (Gunaratna, 2019). Ideologi khilafah memang mensyaratkan kepatuhan terhadap amirul mukminin.

Oleh karena itu, loyal terhadap amirul mukminin sudah dianggap sebagai loyal terhadap Muslim. Prosesi baiat sebelum melakukan amaliyah ishtishadi (bom bunuh diri) di Sri Lanka adalah bukti loyalitas terhadap amirul mukminin. Dan serangan adalah bentuk dari sikap bara’. Interpretasi al wala’ wal bara’ inilah yang menjadi pendorong serta justifikasi tindakan teror. 

Dalam kajian psikologi sosial, perilaku umumnya didahului oleh sikap. Jika sikap anda setuju terhadap A, maka kemungkinan anda akan melakukan tindakan-tindakan mendukung A. Para ‘pengantin’ Sri Lanka bombing begitu sangat yakin dan ‘brutal’ membunuh sebanyak-banyaknya non-Muslim karena konsep bara’ yang dimaknai ‘membenci’ non-Muslim. 

Korelasi Ekonomi dan Pendidikan dengan Terorisme

Para pelaku serangan Sri Lanka adalah orang-orang berkecukupan dan berpendidikan tinggi. Ilham Ahmed Ibrahim dan Inshaf adalah anak pengusaha rempah-rempah, Mohamed Ibrahim – yang oleh New York Time (27/4) disebut milioner. Ia pemilik Ishana Exports yang merupakan eksporter rempah-rempah terbesar di Sri Lanka sejak 2006 (cnn.com). Seorang menantu Ibrahim juga meledakkan diri saat polisi menggerebek rumahnya. 

Seorang pelaku lainnya diketahui mendapat pendidikan di Inggris dan menyelesaikan gelar master di Australia (bostonglobe.com). Data-data ini menimbulkan banyak pertanyaan di kalangan masyarakat. Namun, hal itu tidak mengherankan. Studi-studi psikologi tidak menemukan hubungan yang kuat antara status ekonomi dan pendidikan dengan aksi teror. 

Kita dapat melihatnya pada pelaku bom Bali, Osama bin Laden, dan Abu Bakar al Baghdadi. Pelaku bom Bali adalah putra-putra pemilik pondok pesantren di Lamongan. Mereka mapan secara ekonomi dan juga mendapat pendidikan yang baik. Osama bin Laden adalah anak milioner Saudi yangmemiliki perusahaan konstruksi. 

Sementara amir ISIS saat ini, Abu Bakar al Baghdadi, bergelar doktor. Kita juga pernah mendengar nama Dr. Azahari yang mendanai dan menjadi otak bom Bali, Kedutaan Australia, dan Hotel J Marriot. Ia mengenyam pendidikan di Australia dan Inggris dan pernah menjadi dosen. Temuan penelitian saya juga menghasilkan data senada (2018). Banyak di antara responden yang saya wawancara berasal dari keluarga berkecukupan serta memiliki pendidikan universitas. 

Faktor dasar yang menyebabkan orang melakukan terorisme adalah pandangan ‘dunia dalam kondisi perang’, bom bunuh diri adalah tindakan mulia, dan keyakinan ‘Barat adalah musuh karena telah bertindak dzalim terhadap Muslim’ (Putra &Sukabdi, 2013). Meskipun anda berasal dari keluarga mapan dan berpendidikan namun memiliki pandangan-pandangan tersebut, maka kemungkinan untuk engage dengan terorisme sangat tinggi. 

Penulis adalah Pengajar Psikologi Sosial Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA) Jakarta, Peneliti Division for Applied Social Psychology Research (DASPR).

Sumber: https://www.nu.or.id/post/read/105533/tragedi-bom-sri-lanka-di-hari-paskah-perspektif-psikologi

Kategori

Berita

Tanggal

30 Agustus 2019

Author

DASPR

Bagikan