UPAYA mengubah pola pikir para narapidana terorisme perlu dievaluasi secara menyeluruh. Pendekatan yang lebih menekankan reedukasi ideologi negara atau wawasan kebangsaan tidak memberikan perubahan berarti dalam pola pikir mereka karena bersifat general.
Demikian antara lain temuan Divisi Riset Psikologi Sosial Terapan Daya Makara Universitas Indonesia yang dipublikasikan kemarin, di Jakarta. Daya Makara pun merekomendasikan program inklusif dalam upaya deradikalisasi bagi warga binaan pemasyarakatan di lembaga pemasyarakatan.
“Seperti management training dan life management training, dapat dikatakan sebagai praktik terbaik meski belum dikatakan sempurna,” terang Koordinator Program DASPR-Daya Makara Universitas Indonesia, Faisal Magrie.
Salah satu yang membuat program itu menjadi yang terbaik karena sifatnya yang partisipatif dan menyentuh keterampilan yang mereka butuhkan. Baik ketika di LP maupun saat warga binaan menjalani reintegrasi sosial.
Faisal menjelaskan, dengan tema topik yang lebih inklusif yang diterapkan bukan hanya kepada warga binaan dari kasus terorisme, melainkan kepada seluruh napi. Pasalnya, ekslusivitas program bagi narapidana terorisme hanya akan menjadikan mereka merasa spesial.
Pada akhirnya rasa spesial tersebut menjadikan warga binaan kasus terorisme tidak secara sukarela mengikuti suatu program dan bahkan menolak karena mereka merasa dicari.
Sebaliknya, jika sifat program inklusif, warga binaan akan dengan sendirinya bergabung karena ada rasa ketertarikan. Dorongan itu pada akhirnya akan menjadikan mereka dapat berubah.
Dalam temuan lainnya, para petugas LP masih belum dapat menerapkan program deradikalisasi secara mandiri. Padahal, itu tujuan akhir seluruh program eksternal yang dilakukan swasta atau pemerintah. “Salah satu penyebabnya karena belum adanya desain keberlanjutan, kurikulum, fasilitas, dan juga anggaran untuk itu,” terang Faisal.
Minta masukan Densus
Faisal juga menyinggung soal perlunya peningkatan kapasitas staf LP yang menjadi pamong warga binaan kasus terorisme. Kemampuan para pamong itu dinilai masih lemah.
Hal itu dibenarkan oleh JFU Subdit Pembinaan Kepribadian Ditjen Pemasyarakatan Ali Akbar. Ia mengatakan perkembangan persebaran tahanan teroris luar biasa. Jika sebelumnya hanya terkonsentrasi di Jawa dengan jumlah terbatas, kini sudah menyebar hingga ke Sumatra, NTT, Sulawesi, dan Kalimantan. Akibatnya, dari segi jumlah saja pamong sangat kurang.
“Mungkin kalau dijumlahkan dari 110 LP yang ada napi terorisnya, jumlah pamong 200-an kurang, maka sekitar hampir 100 lebih yang belum diapa-apain dengan hanya baru ditunjuk sebagai pamong napiter, tetapi dia sendiri belum bisa mau ngapain,” ujar Ali.
Menurut Ali Akbar, perlu ada koordinasi dengan Densus 88 Antiteror Polri. Ketika mereka mengirim napi teroris, sebaiknya memberikan profil detail napi itu dan memberikan masukan terkait penempatannya, apakah bisa dicampur atau dipisah.(P-1)
Sumber: https://mediaindonesia.com/politik-dan-hukum/144595/reedukasi-ideologi-kurang-efektif