Merupakan program yang menyasar 22 narapidana kasus terorisme (selanjutnya disebut napiter) di 5 lapas di Pulau Jawa dan Sulawesi. Melalui dialog dengan napiter, program pemberdayaan ini bertujuan menyangkal ideologi Takfiri, mengajak peserta untuk meninggalkan kekerasan, berkomitmen untuk resolusi konflik secara damai, dan menyebarluaskan Islam tanpa kekerasan. Para peserta bersifat undangan sukarela dan kegiatan disajikan dalam bentuk dialog informal. Selain itu, kami juga mencoba untuk meningkatkan empati para peserta sehingga mereka semakin siap dalam berinteraksi dengan siapa pun yang berasal dari latar yang berbeda. Intervensi penting lain yang diberikan seperti: memberikan konseling individu dan kelompok oleh psikolog, penguatan pemahaman dan kapasitas dalam mengelola keuangan dan bisnis sebagai modal di saat bebas nanti. Melalui metodologi dan pengukuran psikologis, intervensi dilakukan dalam desain eksperimen dengan membagi lapas yang diberikan intervensi maupun yang tidak sama sekali. Hasilnya, intervensi yang diberikan berjalan efektif. Para napiternya dengan intervensi jauh lebih tidak radikal jika dibandingkan napiter yang tidak diberikan intervensi sama sekali. Selain itu, didapatkan pula profil psikologis para napiter sebagai asesmen dan modal dalam intervensi selanjutnya. Selain para napiter, penerima manfaat tidak langsung adalah aparat penegak hukum yang secara langsung mendampingi proses hukum mereka: Densus 88 dan Dirjenpas (termasuk pamong lapas) yang memang ikut dalam setiap rangkaian program dari awal hingga selesai.
- Latar Belakang:
Berdasarkan hasil penelitian yang telah ada sebelumnya, satu faktor yang berkaitan atau berelasi terhadap aktivitas agresi dan perspektif toleran adalah pemikiran kritis. Individu yang memiliki pemikiran kritis cenderung lebih tidak melakukan kekerasan dibandingkan individu yang “simple mind”. Berangkat dari hasil temuan tersebut, aktivitas dari proyek In Prison Re-Education Program adalah untuk membangun dialog dengan narapidana yang dihukum karena kasus terorisme. Dialog dibangun sebagai upaya kontra narasi, termasuk terkait ideologi takfiri, dan persuasi untuk meninggalkan kekerasan dan berkomitmen terhadap resolusi konflik yang damai dan aktivitas tanpa kekerasan.
Perbedaan antara individu yang berpikir kritis dan berpikir tidak kritis dapat dilihat dari seberapa kompleks struktur dari pernyataan yang ia katakan berkaitan dengan suatu topik tertentu. Dalam psikologi, teori ilmiah yang mempelajari kompleksitas dari pernyataan yang dikeluarkan dikenal dengan istilah integrative complexity. Aktivitas dan program yang dijalankan sendiri dilakukan dalam empat kali pertemuan yang membahas topik berbeda-beda dan di waktu berbeda pula. Topik pertama adalah topik general untuk membangun rapor. Topik kedua adalah diskusi takfiri dan menolak kekerasan. Topik ketiga adalah meninggalkan kekerasan dan mempromosikan resolusi perdamaian. Topik keempat adalah konklusi dari pertemuan sebelumnya.
- Tujuan:
Menguji dan menganalisis apakah ada perbedaan integrity complexity pada narapidana kasus terorisme sebelum dan sesudah mendapatkan perlakuan atau pertemuan.
- Partisipan:
Partisipan dalam aktivitas ini adalah narapidana kasus terorisme di beberapa Lembaga Permasyarakatan di Indonesia.
- Hasil
Berdasarkan hasil analisis penelitian yang telah dilakukan, angka integrity complexity para narapidana kasus terorisme dari pertemuan 1-4, turun setelah pertemuan ke-2. Peserta bersedia untuk membuka pikiran mereka dan bergaul dengan orang lain. Hasil penelitian menunjukkan partisipan menjadi lebih kurang sisi agresivitasnya sebelum mereka bergabung dalam pertemuan, ditinjau dari tingkat integrity complexity. Melalui temuan ini, dikatakan bahwa salah satu upaya deradikalisasi yang efektif dapat dimulai melalui keluarga.