Beranda 

Half Day Seminar and Mini Coaching: The Connection between Religion, Complex Society, Pro-social & Extreme Behavior

Filosof Besar asal Prancis, Voltaire pernah berkata: “If God did not exist, it would be necessary to invent him”. Ungkapan ini menunjukkan bahwa jika pun nanti ditemukan bahwa Tuhan tidak ada, kita tetap membutuhkan adanya Tuhan. Dan benar saja, di tengah gencarnya perkembangan ilmu pengetahuan di mana manusia semakin cerdas dan mudah mengenal dunia, orang juga sudah mulai mempertanyakan Tuhan dan Agama. Apakah agama masih dibutuhkan di dunia yang semakin maju ini? Seperti menyambung Voltaire, Harvey Whitehouse, Profesor Antropologi dari universitas Oxford, mengungkapkan bahwa Agama dan Tuhan dibutuhkan untuk menjaga moral, terutama sekali di struktur masyarakat yang semakin kompleks. 

Saat ini, Harvey Whitehouse adalah direktur Institute of Cognitive and Evolutionary Anthropology, fellow Professor di Magdalen College di Universitas Oxford, serta salah satu pendiri Centre of the Resolution of Intractable Conflict. Harvey Whitehouse adalah ilmuan terkemuka yang mengkaji hubungan agama, masyarakat, kognitif, dan perilaku. Beliau juga pernah menjadi Narasumber utama di salah seri dokumenter mengenai “the story of God” yang dinarasikan oleh Morgan Freeman. 

Beruntung sekali, di akhir Juli lalu Harvey Whitehouse berkunjung ke Indonesia dan memberikan seminar terbuka di Jakarta pada tanggal 28 Juli 2019. Seminar ini dapat terselenggara atas inisiatif dari Division for Applied Social Psychology Research (DASPR) Jakarta dan bekerjasama dengan Ikatan Psikologi Sosial (IPS) dan Konsorsium Psikologi Ilmiah Nusantara (KPIN). 

Karena ketertarikan Beliau dalam mengkaji penyebab dan konsekuensi dari social cohesion di masyarakat, Harvey Whitehouse memandang Indonesia sebagai salah satu tempat yang tepat untuk melalukan riset dan mendalami area penelitian tersebut. Hal itu, menurutnya, dikarenakan Indonesia merupakan negara yang begitu beragam secara kultural; artinya banyak kelompok masyarakat dengan intensitas dan ragam berbeda yang dapat memengaruhi kerekatan sosial yang mana sangat menarik untuk dibandingkan. Harvey Whitehouse saat ini juga sedang melakukan studi tentang minoritas muslim di negara-negara lain, oleh karenanya fakta bahwa Indonesia memiliki populasi dengan mayoritas beragama Islam akan membantu untuk membuat perbandingan hasil yang sangat berharga dan dapat ditelusuri lebih dalam. Selain itu, kebangkitan kelompok-kelompok Islam konservatif di Indonesia belakangan ini juga dianggap sangat menarik untuk dieksplorasi. 

Walaupun jauh sebelumnya Harvey Whitehouse pernah ke Indonesia dan juga meneliti di Papua Nugini, Harvey Whitehouse baru mulai benar-benar serius melakukan studinya di Indonesia saat berkenalan dan berkolaborasi dengan Dr. phil. Idhamsyah Eka Putra dan kolega-kolega ilmuan sosial lainnya di awal tahun 2017. Idhamsyah Eka Putra adalah Dosen di Universitas Persada Indonesia dan Direktur DASPR. Area konsentrasi studi beliau adalah pada hubungan antar kelompok, societal psychology, prasangka, dan fanatisme agama. Beliau juga terkenal karena telah mengembangkan konsep baru yang dinamakan meta-prasangka (i.e. meta-prejudice). 

Dalam perjalanannya, karena Harvey Whitehouse dan tim risetnya merasa sejalan dengan ide dan ketertarikan dengan Idhamsyah Eka Putra dan tim risetnya, Harvey Whitehouse mulai intens melakukan kolaborasi yang berkesinambungan dengan Idhamsyah Eka Putra dan tim dari DASPR. Harvey Whitehouse mengungkapkan alasannya karena sangat terkesima dengan research achievement DASPR pada bidang-bidang yang menjadi ketertarikannya. Karena inilah, beliaupun melihat potensi yang besar untuk melakukan kolaborasi yang berkesinambungan di masa-masa yang akan datang.

Acara seminar dimoderatori oleh Joevarian Hudiyana yang merupakan Doctoral Researcher dari fakultas Psikologi, Universitas Indonesia dan managing editor di Jurnal Psikologi Sosial (JPS). Di dalam seminar, Harvey Whitehouse memaparkan presentasi tentang religi, ritual, kompleksitas sosial, dan ekstremisme. Presentasi ini merupakan hasil temuan dari penelitian etnografi yang ia lakukan di Papua Nugini dan hasil tesnya telah diujikan kembali secara global untuk memastikan bahwa konsepnya tahan uji. 

Menurutnya, religi merupakan konfigurasi dari informasi kultural yang direproduksi sepanjang waktu. Berdasarkan fakta terkait transmisi religi, Harvey Whitehouse mengembangkan teori utama yang disebutnya sebagai mode dari agama: imagistic dan doctrinal. Mode imagistic memiliki beberapa karakteristik, yaitu: frekuensi yang jarang/ ritual dengan gairah yang besar, ritual merupakan bentuk peringatan dari refleksi tentang makna dan pembentukan esensial diri secara personal, saling berbagi pengalaman yang menimbulkan kohesi yang intens dalam hubungan kelompok, penyebaran yang tidak efisien (terlokalisasi), serta sangat bermanfaat dalam upaya pencapaian berisiko tinggi (misalnya intensi berperang). Mode doctrinal sementara itu memiliki karakteristik: ritual dengan frekuensi yang sering dan memiliki doktrin yang terstandarisasi, membentuk komunitas dengan kelompok yang besar dan anonim, kekuatan kohesinya tersebar berdasarkan ikatan kategorikal, serta memiliki kapasitas untuk menghasilkan sumber daya yang besar dan akumulatif.

 Mode imagistic dianggap sebagai sebuah mode yang membentuk dan merekatkan antar masyarakat. Implementasi mode ini menghasilkan dampak yang lebih emosional dan membentuk kelekatan di antara mereka yang berpartisipasi. Sementara itu, mode doctrinal dikarenakan berlangsung dengan intensitas yang relatif sering, menjadi sebuah kebiasaan dan lebih mudah disebarluaskan informasinya. Namun begitu, dampak dari mode ini tidak terlalu menyentuh sisi emosional, tetapi lebih mengarah pada upaya penyebaran dan pembentukan pemahaman praktik standarisasi dalam agama. Dalam jangkauan lebih lanjut, pemahaman tentang mode ini tidak hanya mampu menjelaskan tentang fenomena agama, namun berbagai fenomena sosial lainnya di luar lingkup agama, misalnya tentang perilaku yang dilakukan oleh suporter sepakbola.

Harvey Whitehouse juga memaparkan tentang konsep complex society. Konsep ini menjelaskan bahwa semakin kompleks dan berkembangnya suatu tatanan masyarakat, maka individu semakin membutuhkan apa yang dinamakan dengan “moralizing Gods”. Kompleksitas ini membuat individu akan berhubungan dan berelasi tidak hanya pada individu lain yang ia kenal dan sama karakteristiknya, namun juga individu-individu asing yang berpotensi menghasilkan konflik di era masyarakat modern. Untuk itu, “moralizing Gods” sangat diperlukan untuk tumbuh di masyarakat dengan skala luas dan besar. “Moralizing Gods” dianggap oleh Harvey Whitehouse sebagai “eye in the sky”, di mana muncul pemahaman tentang adanya “Tuhan” yang dapat melihat pikiran individu dan hadirnya isu tentang rewards dan punishments dari setiap perilaku yang dilakukan oleh individu itu sendiri. Kepercayaan terhadap “Tuhan” membuat individu berpikir tentang apa yang benar dan salah, apa yang baik dan buruk, serta membangun rasa percaya antar sesama. Tambahannya, Harvey Whitehouse menuturkan bahwa konsep “moralizing Gods” juga hadir pada tatanan masyarakat yang lebih sekuler dan merupakan bentuk dari pengawasan terhadap perilaku individu dan masyarakat.

Adanya mode religi juga mampu membuat prediksi tentang psikologi manusia berdasarkan memori, identitas, dan kohesi sosial. Harvey Whitehouse secara lebih detil memaparkan tentang teori penggabungan identitas (identity fusion) yang mana mampu menjelaskan keterwakilan hubungan personal di dalam kelompok. Penggabungan identitas membangun motivasi fight and die response, sehingga mampu menjelaskan alasan individu mau dan berani merelakan dirinya untuk kelompok dan bertarung atas nama kelompok, termasuk melalukan kegiatan ekstrem. Pada perjalanannya, disadari bahwa mode imagistik memainkan peranan lebih besar dalam membentuk identity fusion. 

Dalam upaya mencapai identity fusion, peran dari “berbagi pengalaman” dalam membentuk memori menjadi krusial. Pembahasan ini dijelaskan oleh kolega Harvey Whitehouse yang diajaknya datang ke Jakarta, Dr Barbara Muzzulini. Barbara Muzzulini adalah post doctoral researcher di Universitas Oxford. Ia memaparkan tentang konsep memori autobiografi sebagai ingatan individu terkait dengan kejadian-kejadian penting di masa lalu di dalam kehidupannya. Memori autobiografi berasal dari memori personal, memori dari informasi orang lain, dan memori dari kejadian publik yang dipelajari. Dalam praktiknya, identity fusion akan lebih terbentuk melalui kehadiran memori episodik, yaitu memori yang dihasilkan berdasarkan pengalaman masa lalu langsung dari individu dan bersifat sangat subjektif.

Seminar kemudian dilanjutkan oleh diskusi dan tanya jawab dari peserta yang hadir dan memiliki rasa keingintahuan yang besar tentang fenomena perilaku ekstremisme yang semakin marak terjadi, khususnya di Indonesia. Terakhir, junior researcher DASPR juga memperoleh kesempatan berharga untuk memaparkan rencana penelitian mereka tentang stigmatisasi yang dialami oleh para istri narapidana terorisme dan mendapatkan masukan berharga dari Harvey Whitehouse dan Barbara Muzzulini. Mereka pun bersedia untuk membantu para junior researcher untuk mampu membuat penelitian yang berkualitas dan bermanfaat ke depannya. Pada akhirnya, kegiatan ini ditutup dengan sesi mingle di antara para peserta, sekaligus membangun koneksi yang lebih luas antar peserta dan antara peserta dengan pembicara.

DASPR dan peserta yang hadir pun memperoleh pembelajaran berharga dari riset-riset yang dilakukan oleh Harvey Whitehouse dan kolega. Perkenalan kami dengan Harvey Whitehouse menyadarkan kita semua bahwa agama tidak sekedar sebagai perwujudan penghayatan, tetapi juga konteks agama dan peranannnya dalam hubungan dan perilaku masyarakat dapat dikaji melalui berbagai pendekatan ilmiah. Agama dan bangunan dari kohesi sosial dalam tatanan masyarakat yang lebih kompleks menghadirkan satu dimensi baru akan penjelasan tentang alasan di balik motivasi dan perilaku tiap-tiap individu di dalam masyarakat.

Kategori

Berita

Tanggal

28 Agustus 2019

Author

DASPR

Bagikan