Penelitian terbaru yang dilakukan Universitas Indonesia menunjukkan program deradikalisasi bagi narapidana kasus terorisme di lembaga pemasyarakatan (Lapas) perlu dievaluasi secara menyeluruh.
JAKARTA — Program deradikalisasi bagi narapidana kasus terorisme di lembaga pemasyarakatan yang lebih banyak menekankan pada re-edukasi idelogi negara atau wawasan kebangsaan dinilai tidak memberikan perubahan berarti dalam perubahan pola pikir narapidana terorisme dan karenanya harus dievaluasi.
Salah satu program deradikalisasi yaitu kewirausahaan juga dinilai gagal jika diberikan tanpa persiapan dan rencana matang untuk mengangkat kehidupan ekonomi mantan narapidana tersebut.
Hal ini terungkap dalam kajian atas penelitian yang dilakukan oleh DASPR (Divisi Riset Ilmu Psikologi Terapan) Daya Makara Universitas Indonesia selama delapan bulan di beberapa lembaga pemasyarakatan yang memiliki narapidana kasus terorisme.
Koordinator Program DASPR Daya Makara UI Faisal Magrie mengatakan penelitian itu memusatkan perhatian pada beragam kegiatan yang dilakukan institusi pemerintah dan lembaga swasta untuk menangani narapidana kasus terorisme. Sejumlah kendala ditemukan dalam program itu, antara lain soal kurangnya koordinasi diantara lembaga pemerintah dan non pemerintah yang membuat program-program itu saling tumpang tindih.
Masalah lain ujar Faisal adalah tidak adanya struktur dan kurikulum yang jelas, yang membingungkan pelaksana di lapangan.
“Kendala kedua adalah tidak maksimalnya pembinaan dari pamong sebagai wali dari para narapidana (kasus terorisme), karena memang masih banyak pamong yang belum dibekalkan oleh pembangunan kapasitas, baik kapasitas sebagai pendamping, juga kapasitas sebagai orang yang menangani narapidana dengan risiko tinggi. Mereka juga belum mendapatkan pengakuan struktural serta insentif yang jelas terkait risiko yang mereka tangani,” kata Faisal.
Menurut Faisal, tidak adanya undang-undang yang mengatur mengenai kewenangan lembaga negara dalam menangani narapidana kasus terorisme di lembaga pemasyarakatan juga merupakan kendala.
Meski begitu, Faisal mengakui program-program yang bersifat inklusif, seperti pelatihan manajemen dan pelatihan manajemen kehidupan, merupakan praktek terbaik karena sifatnya yang partisipatif dan mengajarkan keterampilan yang sangat dibutuhkan narapidana kasus terorisme baik ketika berada dalam lembaga pemasyarakatan maupun menjalani reintegrasi sosial.
Bahrul Wijaksana, Country Representative Search for Common Ground, mengatakan isu deradikalisasi di lembaga pemasyarakatan sudah lama menjadi perhatian kementerian terkait. Dia menambahkan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan sebenarnya sejak 2010 sudah menyusun prosedur tetap tentang penanganan narapidana berisiko tinggi, termasuk narapidana kasus terorisme.
Bahrul menambahkan selama 2015-2016 Direktorat Jenderal Lembaga Pemasyarakatan juga telah menyusun sebuah rencana induk untuk menangani narapidana berisiko tinggi. Salah satunya adalah membangun lembaga-lembaga pemasyarakatan khusus untuk narapidana berisiko tinggi, yang terbaru Lembaga Pemasyarakatan Pasir Putih di Nusakambangan, khusus untuk narapidana terorisme.
Secara personel, dia menilai, tidak ada masalah sebab Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia tahun ini merekrut sekitar 14 ribu pegawai baru yang sebagian besar menjadi jatah Direktorat Jenderal Pemasyarakatan. Tapi sebetulnya yang sangat dibutuhkan adalah pengembangan kapasitas mereka karena biasanya petugas-petugas lembaga pemasyarakatan itu sangat minim sekali menerima pelatihan sebelum mereka terjun di unit pelayanan teknisnya.
Dia mencontohkan ada seorang pegawai badan pemasyarakatan di Solo yang baru menerima pelatihan setelah 33 tahun bekerja.
Bahrul juga menyoroti munculnya fenomena baru yaitu narapidana kasus terorisme yang mulai berani menyerang petugas lembaga pemasyarakatan.
“Napi terorisme ini berusaha untuk melawan semua sistem yang thogut yang dia bilang sebagai sistem yang korup, yang memarjinalisasikan mereka, dianggap merusak nilai-nilai. Kalau dulu anggapan-anggapan itu adalah mitos dan imajinasi, ketika mereka masuk ke dalam lapas, mitos dan imajinasi itu kemudian menjadi kenyataan,” ujar Bahrul.
Direktur Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Profesor Irfan Idris mengakui selama ini berbagai pihak lebih memusatkan perhatian pada bagaimana menangani narapidana berisiko tinggi tapi melupakan nasib dan pengembangan sipir serta para staf lembaga pemasyarakatan.
Irfan menambahkan pengembangan kapasitas dan perhatian terhadap para sipir di lembaga pemasyarakatan yang memiliki narapidana terorisme sangat diperlukan. Salah satunya untuk mencegah agar mereka tidak terpengaruh oleh ajaran radikalisme dan terorisme.
Irfan menjelaskan deradikalisasi bisa sebagai program sekaligus strategi. Kalau deradikalisasi sebagai strategi, BNPT mempunyai dua strategi, yakni kontraradikalisasi dan deradikalisasi.
“Kontraradikalisasi sebenarnya penguatan imunitas. Bagaimana masyarakat, seluruh komponen bangsa, tidak terpengaruh oleh paham radikal yang mengatasnamakan agama, karena semua agama tidak ada yang mengajarkan anarkisme dan tidak ada kaitannya agama dengan teroris,” tukas Irfan.
Zaenal Arifin, Kepala Subdirektorat Pembinaan Kepribadian Direktorat Jenderal Lembaga Pemasyarakatan, menegaskan perlu adanya kerja sama dan sinergitas yang bagus antara narapidana terorisme, lembaga pemasyarakatan serta pemerintah, masyarakat, dan swasta dalam program deradikalisasi. Sebab program deradikalisasi masih dinilai gagal karena masyarakat masih menolak mantan narapidana kasus terorisme. [fw/em]