Beranda 

Refleksi Paska Sosialisasi FOSPETA: Edisi Bandung

Penulis: Erni Kurniati

Sosialisasi Forum Support Perempuan Tangguh (FOSPETA) di Jakarta menjadi sebuah gambaran nyata untuk kegiatan sosialisasi adanya FOSPETA di Bandung. Pembaca bisa cek tulisan saya yang sebelumnya dengan judul “Refleksi Diri: Spirit FOSPETA”.

Sebuah intervensi akan lebih berguna jika dilakukan karena adanya identifikasi kebutuhan. Maka dari itu, meski tahu keluarga di Bandung memiliki latar belakang yang sama, ternyata waktu penangkapan, tahun bebas, dan jaringan yang diikuti mempengaruhi kebutuhan. Sehingga, aku melihat ada perbedaan atmosfer ketika menjalani sosialisasi di Bandung.

Perasaan senang tergambarkan pada senyum partisipan yang hadir. Dengan diriku yang tak berhijab, sempat ada kekhawatiran akan menjadi hijab bagi interaksi antara aku dan peserta yang hadir – keluarga perempuan mantan narapidana terorisme. Namun, ternyata diriku dikagumkan atas respons para wanita tangguh ini.

Mereka memang tak mengenaliku di awal perjumpaan. Tetapi saat sesi perkenalan mereka akhirnya tak asing dengan wajahku. Ia, betul. Mereka akhirnya menyadari bahwa aku adalah pendamping yang sama saat 2021, perempuan yang sama dengan perbedaan penampilan, tak berhijab.

Hatiku terbawa haru. Senang dan merasa diapresiasi. Terpancar aura bahagia dan syukur di antara para wanita tangguh. Ada perjumpaan yang berbeda. Saat pertemuan sebelumnya, mungkin beberapa peserta terlihat muram dan terbebani. Hal itu dikarenakan pasangan mereka yang masih di penjara. Tetapi saat ini situasi berubah. Suami atau anggota keluarga sudah bersama mereka lagi.

Melihat sisi ini, ada perbedaan mendasar dengan kegiatan di Jakarta. Berdasarkan pandangan dan analisis, peserta di Bandung lebih membutuhkan pemulihan karena situasi yang saat ini mereka lalui masih dalam proses adaptasi, atas kembalinya anggota keluarga dari “pesantren”. Sebab itu, momen ini begitu penting untuk mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan serta harapan para perempuan ini untuk menggapai masa depan yang lebih cerah.

Aku tahu mereka telah melalui masa sulit dan akhirnya mendapatkan kesempatan untuk bersatu kembali dengan orang dicintai, tetapi mereka juga begitu dikagumi karena masih mau terlibat dalam kegiatan yang akan melekatkan mereka pada label “keluarga mantan napiter”. Mereka mau hadir, mengambil risiko ini. Namun, mereka menilai ruang ini menjadi ruang perjumpaan yang hangat. Ada suasana kekeluargaan hadir. Bukan karena dari darah yang sama, tetapi dari kehangatan dan ketulusan empati yang terpancar.

Aku dapat melihat linangan air mata salah satu seorang ibu. Air mata ini bukan air mata kesedihan tetapi kebahagiaan dan rasa syukur. “I am not alone!” adalah ungkapan yang sangat berarti bagi mereka. Kehadiran sesama perempuan yang memiliki latar belakang yang sama, membuat mereka memiliki energi dan perasaan tidak sendiri. Ini adalah perasaan yang luar biasa dapat dimaknai positif untuk bisa mengikis bahkan mengurangi beban mental yang sedang mereka hadapi.

Aku bukan ahli dalam kejiwaan, tetapi melihat fenomena solidaritas perempuan yang berempati dan bersimpati terhadap penderitaan perempuan lain membuatku merasa bahwa tak perlu menunggu menjadi ahli, saat ini dan mungkin kapanpun kita bisa menjadi pendamping yang berarti bagi mereka. Aku merasa terpuaskan dengan aura para partisipan di Bandung. Mereka menunjukkan aura positif yang dapat menular pada orang-orang di sekelilingnya. Ini butuh proses yang panjang, tetapi membuahkan hasil yang berdampak positif.

Gerakan perempuan yang nyata bukan hanya dari apa yang disampaikan, tetapi dari aksi yang dilakukan. Dari pertemuan di Bandung menginspirasiku untuk terus berbuat sesuatu yang berdampak positif. Tak lama dari kegiatan ini, aku pun memiliki niat untuk belajar lagi menjadi fasilitator yang lebih baik. Pada hari aku menulis tulisan ini, aku baru saja menyelesaikan pembelajaran daring sebagai fasilitator support group (grup dukungan).

Pengalaman yang aku miliki selama kurang lebih lima tahun ini akhirnya membuatku menyadari, bahwa menjadi pendamping haruslah bermodalkan dua hal: ketulusan dan kesabaran. Jika tidak tulus mungkin hasil yang didambakan tidaklah begitu berdampak positif. Jika tanpa kesabaran, mungkin kita akan menyerah dengan tantangan. Tantangan pengetahuan yang terbatas dan sumber daya yang dimiliki.

Maka dari itu aku belajar bahwa menjadi setiap kejadian memiliki maksud dan setiap waktu memiliki anugrahnya sendiri untuk dipetik. Semoga pembaca mendapatkan insight dari pengalamanku ini. Semoga tulisan ini bukan hanya sebagai pembelajaran akan arti kemanusiaan dan empati, tetapi pembelajaran bagi diriku sendiri di dalam masa sulit. Aku meyakini akan adanya waktu yang berputar. Maka tulisan refleksi menjadi pengingat bahwa waktu terus berganti. Ada kesedihan pasti sesudahnya ada kebahagiaan dan sebaliknya.

Sumber: https://womenandcve.id/blog/2023/12/28/refleksi-paska-sosialisasi-fospeta-edisi-bandung/

Kategori

Berita

Tanggal

15 Januari 2024

Author

DASPR

Bagikan